Cidomo atau kadang disebut Cimodok  adalah alat transportasi tenaga kuda khas pulau Lombok, secara fisik  kendaraan ini mirip dengan delman atau andong yang terdapat di pulau  Jawa, hanya saja, penyebutan nama kendaraan ini, berbeda-beda,  tergantung tempatnya. Cidomo merupakan singkatan dari cikar, dokar,  mobil. Perbedaan utamanya dengan delman atau andong adalah alih-alih  menggunakan roda kayu, cidomo menggunakan roda mobil bekas sebagai  rodanya. Sampai saat ini alat transportasi ini masih menjadi sarana  utama transportasi terutama pada daerah-daerah yang tidak dijangkau oleh  angkutan publik dan daerah-daerah sentra ekonomi rakyat seperti pasar.
Cikar  adalah alat angkut atau tempat angkut penumpang tanpa atap dan kuda.  Sedangkan dokarnya adalah keseluruhan bagian termasuk atap. Sebutan  mobil dipakai karena kendaraan ini bergerak dengan tenaga kuda sebagai  alat transportasi. “Bergeraknya itulah yang membuat ia disebut mobil,”  kata Muhasah, salah seorang tukang pembuat cidomo, di Kampung  Tenges-enges, Dasan Tapen, Gerung, Lombok Barat.
Mengenai singkatan  ini, memang sudah lama akrab di telinga masyarakat Mataram dan Lombok  Barat, meskipun tidak ada keterangan pasti bahwa singkatan tersebut  memang benar. Yang pasti, jika bertanya mengapa disebut cidomo, maka  hampir semua yang ditanya menjawab, cikar, dokar, mobil.
Lain Lombok  Barat dan Mataram, lain lagi Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa dan  Bima. Sebagian orang Lombok Tengah menyebut kendaraan ini sebagai cikar,  meskipun sebagian lagi juga menamainya dengan cidomo.
Yang unik, Lombok  Timur menyebut kendaraan tradisional ini sebagai becak. Beberapa  lainnya juga masih menyebut cidomo. “Sampai kantor Camat, naik saja  becak,” ungkap Ana, mahasiswa asal Lombok Timur kepada kawannya lewat  telepon. Ia pun menjelaskan, bagi orang Lombok Timur, becak yang  dimaksud adalah cidomo.
Di Pulau Sumbawa orang menyebut kendaraan ini  sebagai dokar dan benhur. Orang Sumbawa mengenal kendaraan yang  dikendarai kusir ini dengan sebutan dokar. Sebutan ini sejak lama sudah  dipakai, bahkan bisa dibilang sejak kendaraan ini menjadi transportasi  tradisional masyarakat Sumbawa. Meskipun sama-sama berada di Pulau  Sumbawa, orang Bima dan Dompu menamai kendaraan tradisional ini dengan  sebutan benhur. Keberadaan kendaraan umum tradisional ini terbilang  cukup banyak di NTB. Ribuan kusir mengantar penumpang dari satu tujuan  ke tujuan lainnya, setiap hari di NTB. Menurut Drs. Anis Masyur, Kepala  Dinas Perhubungan Kota Mataram, saat ini ada sekitar 700-an cidomo yang  beroperasi tiap hari di kota Mataram.
Jumlah ini ternyata telah  terjadi penurunan yang cukup drastis jika dibandingkan dengan tahun 2004  lalu. Ketika itu jumlah cidomo di kota Mataram mencapai 2000 unit.  Penurunan jumlah ini, menurut Anis, terjadi karena penurunan jumlah  penumpang yang selama ini mengandalkan transportasi tradisional ini.  “Penumpang beralih ke kendaraan pribadi yang jumlahnya juga meningkat.  Keberadaan ojek yang sudah ada hampir di setiap perempatan-perempatan  Kota Mataram juga ikut mempengaruhi,” tandasnya.
Dampaknya, banyak  kusir cidomo yang beralih profesi, karena pemasukan yang dianggap tidak  bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penurunan penghasilan, mungkin  dirasakan oleh sebagian kusir. Namun, bagi Nasrun dan kawan-kawannya,  penghasilan mereka terbilang lumayan. Pasalnya, Nasrun dan beberapa  kusir lainnya, memilih menjadi kusir cidomo di daerah wisata Senggigi  dan Gili Trawangan serta gili-gili lainnya, di Lombok Barat.
Penghasilan  kusir wisata ini terbilang besar. Untuk berkeliling dengan cidomo  kawasan khusus wisata ini, wisatawan bisa mencarternya sekali jalan Rp  20 ribu hingga Rp 200 ribu. Dengan Rp 20 ribu, wisatawan bisa  berkeliling Senggigi sekali jalan. Namun, jika ingin sampai ke kota  Mataram, harga carter hingga Rp 200 ribu.
Sebanyak 16 cidomo khusus  wisata di Senggigi ini, mengaku tidak terlalu sering bolak balik  mengantar penumpang, karena harus menunggu wisatawan yang tidak setiap  saat membutuhkan kendaraan tradisional ini. Sehari kadang-kadang tak  memiliki penumpang, namun jika ada penumpang esoknya penghasilan bisa  menutupi kebutuhan sebelumnya. “Jika harus dirata-ratakan, penghasilan  sehari bisa untuk biaya perawatan, makanan kuda dan biaya hidup  sekeluarga. Bahkan terkadang masih bisa disisihkan berupa tabungan untuk  membeli aksesoris cidomo,” kata Nasrun.
Membentuk citra baik dengan  aksesoris menjadi pertimbangan para kusir cidomo di kawasan wisata.  Kesadaran para kusir terhadap kebersihan terbilang cukup baik.  Kantong-kantong kotoran kuda selalu terlihat bersih. Begitu juga dengan  jalan-jalan raya sepanjang Senggigi, bebas dari kotoran kuda. “Kalau ada  kotoran kuda yang jatuh dan kami tidak menyadarinya, biasanya  kembalinya dari mengantar tamu, kami bersihkan lagi,” imbuh Nasrun. Ini  sudah disepakati bersama oleh pada kusir wisata ini.
Cidomo-cidomo  wisata ini tidak beroperasi dari pagi, melainkan dimulai pada pukul  15.00 hingga malam hari. Tetapi, jika ada yang ingin berkeliling pada  pagi hari, harus memesan terlebih dahulu. Mereka bebas mangkal di mana  saja di kawasan Senggigi. Namun, ada aturan yang sudah disepakati  bersama, yakni siapa yang lebih dulu mangkal, dialah yang akan  mendapatkan penumpang terlebih dahulu baru diikuti oleh yang datang  berikutnya.
Hal penting yang selalu diperhatikan kusir adalah  keselamatan dan kenyamanan penumpang. Maklum penumpang mereka adalah  wisatawan dari berbagai negara. Hal inilah yang harus dibayar mahal  penumpangnya
 
  
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link
   
  
